Beberapa malam yang lalu, kami (saya, hubby, dan owen) mengunjungi salah satu tetangga kami yang baru saja ditimpa kemalangan, salah satu anaknya meninggal karena kanker, tanpa suami, dan meninggalkan 2 orang anak. Sang Bapak sendiri, yang merupakan teman ngobrol Bapak Mertua semasa hidup, juga menderita sakit, emphysema, yang merupakan salah satu jenis COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease). Yang ingin saya ceritakan dalam postingan kali ini adalah tentang bapak ini, yang semangat hidup dan kelapangan hatinya sungguh menginspirasi saya.
Sebenarnya kami jarang sekali berkunjung ke tetangga, apalagi sejak punya anak, waktu-waktu di rumah yang terasa sudah sangat sedikit, sudah terisi penuh dengan jadwal bersama anak-anak. Namun, saya bersyukur bahwa hubby adalah orang yang sangat sosialis, mudah bergaul, dan punya kepedulian tinggi kepada sesama. Saya bersyukur karena diajak mengunjungi Bapak ini, untuk selanjutnya kita sebut saja Bapak I.
Dari apa yang diceritakan Hubby, Bapak I memiliki 3 orang anak perempuan, semuanya sudah tanpa suami (entah bercerai, entah meninggal). Salah satu anaknya menderita kanker, yang baru saja meninggal. Istrinya sendiri juga sakit, bahkan waktu kami berkunjung kemarin, istrinya juga terlihat sedang meminum obat. Di rumah itu, kemarin saya melihat ada 3 anak kecil dan 1 anak remaja. 1 anak remaja, dan salah satu anak kecil, adalah anak dari anaknya yang baru meninggal, dua anak dari dua bapak yang berbeda, dan ke-2 bapak yang tidak pernah ada. Anak yang kecil memiliki sedikit gangguan sosial, katanya selama ini, dia sangat dekat dengan ibunya, dan hanya mau ke sekolah jika diantar ibunya. Sudah dua bulan dia tidak bersekolah, karena penyakit ibunya memburuk, (dan kemudian meninggal).
Kembali ke Bapak I, sewaktu kami berkunjung kemarin, kami bertemu di kamar beliau di lantai 2 rumahnya. Beliau sekarang menghabiskan hampir seluruh waktunya di kamar tersebut, karena penyakitnya. Beliau hanya turun seminggu sekali, untuk sholat jumat di mesjid. Selebihnya, beliau memilih tinggal di atas, karena perjalanan naik turun tangga sudah terasa terlalu berat baginya. Bahkan saat berbicara, beliau pun sudah terlihat cukup ngos-ngosan.
Dan tanpa bermaksud menghina atau merendahkan, kondisi kamar beliau sungguh membuat hatiku miris. kamar yang tidak terlalu besar, dengan 1 kasur besar, 1 tabung oksigen cukup besar di sisi kiri kasur, 1 alat nebulizer di sisi kanan kasur, lemari baju terbuka, dengan baju tergantung rapi di belakang kasur, TV, berbagai bacaan, dan dilengkapi pula dengan gelas bekas susu, piring bekas makan, dan beberapa ketidak rapian lainnya. Hanya ditemani kipas angin, kamar ini pun terasa cukup sumpek.
Namun beliau tidak sedikit pun menyesali hidupnya. Rasanya mudah bagi siapapun untuk mengeluh dengan kondisi seperti itu, dengan tubuh yang tidak berdaya untuk melakukan banyak hal, mungkin bahkan untuk hanya sekadar membersihkan piring bekas makan. Obrolan sewaktu kita berkunjung lebih kepada bagaimana kami bisa membantu cucunya yang kecil, yang ibunya baru saja meninggal, dan tentang kenapa beliau masih bersemangat menjalani hidup. Tidak ada satu pun keluhan yang terbersit dari kata-kata maupun bahasa tubuh.
Beliau membuatku bercermin pada diri sendiri, betapa sering aku mengeluh hanya karena owen tidur terlalu malam, sehingga istirahatku kurang, dan tubuh terasa "sedikit" lebih lelah; padahal beliau tentu merasa lelah sepanjang waktu. Betapa sering juga aku mengeluh bahwa hubby kurang perhatian; sementara beliau masih harus mengurus diri sendiri di tengah penyakitnya. Sering pula aku lupa bersyukur atas karunia dua anak-anak sehat dan lucu yang kupunya, yang bisa kucintai dan mencintaiku tanpa syarat dan tanpa batas - dan kadang mengeluh atas kurangnya "me time" yang kupunya. Betapa banyak keterbatasan beliau di tengah penyakitnya, namun toh tetap mengusahakan untuk mengikuti sholat jumat di mesjid; sementara aku sering membuang waktu dalam kemalasan.
Biarlah kututup cerita ini dengan puisi desiderata, yang kurasa cukup menggambarkan semangat hidup Bapak I ini:
Desiderata
Go
placidly amid the noise and haste, and remember
what peace there may be in silence.
As far as possible without surrender be on good
terms with all persons.
Speak your truth quietly and clearly; and listen
to others, even the dull and ignorant; they too
have their story.
Avoid loud and aggressive persons, they are
vexations to the spirit.
If you compare yourself with others, you may
become vain and bitter;
for always there will be greater and lesser
persons than yourself.
Enjoy your achievements as well as your plans.
Keep interested in your career, however humble;
it is a real possession in the changing fortunes
of time.
Exercise caution in your business affairs; for
the world is full of trickery.
But let this not blind you to what virtue there
is; many persons strive for high ideals;
and everywhere life is full of heroism.
Be yourself.
Especially, do not feign affection.
Neither be critical about love; for in the face
of all aridity and disenchantment it is as
perennial as the grass.
Take kindly the counsel of the years,
gracefully surrendering the things of youth.
Nurture strength of spirit to shield you in
sudden misfortune. But do not distress yourself
with imaginings.
Many fears are born of fatigue and loneliness.
Beyond a wholesome discipline, be gentle with
yourself.
You are a child of the universe, no less than
the trees and the stars;
you have a right to be here.
And whether or not it is clear to you, no doubt
the universe is unfolding as it should.
Therefore be at peace with God, whatever you
conceive Him to be,
and whatever your labors and aspirations, in the
noisy confusion of life keep peace with your
soul.
With all its sham, drudgery and broken dreams, it
is still a beautiful world. Be careful. Strive to
be happy.
© Max Ehrmann 1927
Tidak ada komentar:
Posting Komentar