Sabtu, 26 September 2015

Sahabat

Saya meyakini semua orang bisa jadi teman tapi hanya orang-orang tertentu saja yang bisa jadi sahabat.

Dalam hidupku yang intovert dan sedikit anti sosial ini, temenku memang tidak banyak-banyak amat, boleh dibilang sedikit malah. Sebagian besar merupakan teman lokasi, yang menjadi teman karena memang situasi dan kondisi mendukung, misalnya teman sekolah, teman kuliah, teman kerja. Di luar tiga lingkungan itu, kayaknya aku hampir tidak punya teman lagi...😭, duh gilak miskin pergaulan banget aku ya. Untung suami bukan dari ketiga jenis teman itu, hahaha.

Tapi aku punya beberapa orang yang bisa aku sebut sahabat. Nah, aku ga tahu sih apakah mereka juga menganggap aku sahabat ya. Tapi bagi aku, itulah defenisi mereka. Apa defenisi sahabat buat aku. Hmm...coba kupikir ya. Aku rasa ada beberapa, misalnya membuat aku merasa nyaman dan jadi diri sendiri saat bersama mereka. Aku tidak perlu menyaring ulang apa yang ingin kukatakan, aku bebas bercerita tanpa takut dihakimi atau disalah artikan, kurang lebih seperti itulah. Dan aku senang-senang aja bersama mereka terus tanpa ada orang lain. Yang kedua, tidak pernah muncul situasi canggung maupun kehabisan bahan obrolan. Yang ketiga, pikiran kami saling beresonansi, dalam arti nyambung. Jika aku mengucapkan sesuatu, para sahabat biasanya menangkap dengan baik apa yang ingin kuungkapkan, begitu pula sebaliknya. Dan yang terakhir yang paling penting kurasa adalah bertemu dan berinteraksi dengan mereka itu memberiku energi, dan bukan sebaliknya menguras energi. Pernah ga sih ngerasain abis ngobrol sama orang kok rasanya malah capek banget? Nah itu pasti ga cocok jadi sahabat...haha..sotoy.

Para sahabatku, pipin, pince, witi, anggit, miswar, mba tatat, yang aku ga yakin juga apa mereka anggap aku sahabat...hahahaha....

Oh iya satu lagi, beberapa dari daftar sahabatku di atas terpisah jarak denganku, dan bahkan juga sebagian jarang bertemu, bahkan tidak lewat dunia maya sekalipun. Tapi setiap saat kami bertemu, kami langsung nyambung dan bisa berinteraksi seolah-olah kami tidak pernah berpisah jarak maupun waktu. Obrolan bisa mengalir tanpa henti. Jadi itu tambahan kriteria sahabat menurut aku, tak lekang oleh waktu maupun jarak.

Ngomong2 soal teman dan sahabat, belakangan ini aku menemukan sesuatu yang menyenangkan..aku menemukan ternyata ada 2 orang lagi teman kantorku yang ternyata berbagi buku dan pengarang favorit yang sama denganku. Walaupun aku belum bisa menyebut mereka sahabat, tapi aku merasakan reaonansi khusus tentang mereka. Aku sebut 2 orang lagi karena sebelumnya, dengan anggit dan ci marlene aku juga berbagi kecintaan yang sama terhadap buku laura inggals. Nah 2 orang lain ini, yang pertama Louisa, ternyata dia juga pembaca serial si kembar di. St. Clare. Duh..pas tahu aku girang banget, secara sepertinya belum pernah menemukan orang yang suka baca ini juga di kalangan teman-temanku. Dan dia juga suka beberapa pengarang lain yang aku suka, seperti Jody Picoult, dll. Nah, yang satu lagi lebih mencengangkan, setelah ada 5 tahunan mungkin sekantor dan 1 departemen aku baru tahu ternyata Hanny itu suka banget sama Jostein Gaarder. Duh..ke mana aja kami. Seingat aku kami beberapa kali membahas tentang buku tapi tidak pernah menyebut ttg ini. Jostein kan pengarang paling paling favoritku. Serasa bertemu soulmate. Aku yakin ke depan kami akan jadi lebih akrab. Hahahaha.

Apa ya inti tulisan ini? Hahaa..cuma ingin mention orang2 yang berarti dalam hidupku...

Minggu, 20 September 2015

Milestone

Aku mungkin bukan ibu terbaik, ilmu parentingku ku masih cetek banget. Milestone anak-anak banyak sekali yang terlewat. Masa awal-awal sebagai ibu banyak kulewatkan dengan penuh kegalauan.

Aku ingat sih beberapa momen penting seperti jam kelahiran (wakakaka), kapan owen pertama jalan, berapa lama anak-anak asi eksklusif. Tapi banyak juga hal yang kulewatkan seperti kapan mereka pertama duduk, apa kata pertama lala. Duh banget ga sihhh.

Makanya hari ini aku mencoba mencatat, satu hal yang kuanggap milestone penting dalam tumbuh kembang owen, yang bagi orang tua lain mungkin biasa saja, bukan suatu milestone. But isn't every child unique? Yang owen lakukan dan capai hari ini sudah membuat saya dan papanya bangga sekali.

Owen, anak pertama saya meskipun bawel, berani ngobrol pada siapa saja, cenderung pemalu jika harus melakukan sesuatu di depan umum, seperti menyanyi depan kelas. Sejak playgroup ini adalah concern kami yang paling besar dalam perkembangannya. Dia juga cenderung kolokan dengan saya, apa-apa maunya ditemani saya.

Nah, sebagai salah satu upaya, sudah beberapa minggu ini kami benar-benar menggiatkan membawa owen dan lala ke sekolah minggu di vihara. Dari kecil sebenarnya ada juga, tapi kebanyakan bolongnya. Baru sekarang ini jadi di rutin.

Di wihara ekayana, anak-anak seumur owen dan lala dibagi menjadi 2 kelas, metta besar dan metta kecil. Metta kecil untuk anak di bawah 4 tahun dan umumnya didampingi orang tua karena masih pada liar. Metta besar untuk di atas sama dengan 4 tahun, dan orang tua diminta tidak masuk kelas.

Pertama-tama owen dan lala sama-sama di metta kecil. Wah..kacau..sama-sama suka ngeleyotan di saya, tidak mau mengikuti kegiatan. Parah lah pokoknya. Kalau tanpa eka pasti ga kepegang dua anak. Dan owen paaif sekali. Beberapa minggu lalu, eka berinisiatif memisahkan owen ke metta besar, agar tidak manja dengan saya. Pertama-tama masi ditemani eka, tapi minggu lalu, eka hanya tunggu di luar. Dan pas saat-saat terakhir, saya intip dari luar, owen mengikuti semua kegiatan, mulai dari namaskara sampai mengikuti gerakan nyanyi.

Maka, ketika hari minggu ini eka harus kuliah dan tidak bisa menemani ke wihara, kami bertekad harus tetap bawa owen ke sekolah minggu, karena ini adalah momentum. Kalau kami tidak konsisten, mungkin nanti bisa mundur lagi.

Tapi hasil hari ini luar biasa menyenangkan kami. Saya pergi wihara hanya bertiga owen dan lala, jalan kaki, dan separuh jalan naik bajaj karena kebetulan melintas. Sampai wihara saya antar owen ke metta besar, saya titipkan pada koko pembina. Pas saya tinggal keluar ruangan, saya lihat owen sedang diajak namaskara. Setelah itu, sampai kelas selesai saya tidak menengoknya, hanya mengintip dari kejauhan, dari kelas metta kecil, kebetulan bersebelahan.

Berhasil ditinggal sendiri saja kami sudah senang luar biasa. Eh pas saya ajak makan es krim di kantin wihara, owen mengeluarkan stiker dari dalam tas. Saya tanya kok bisa dapat stiker.
"Iya, owen nyanyi", katanya.
"Nyanyi apa?
"Rain rain go away"
"Nyanyi di depan wen?"
" iya"
"Kencang-kencang ga?"
"Ga, kecil kecil saja" :)

Wuaduh...hati saya senang banget. Mau mengikuti kegiatan saja kami sudah bahagia, apalagi ini mau maju ke depan menyanyi. Soalnya di sekolah saja, saat mereka nyanyi bersama dalam lingkaran, owen biasa cuma diam, sama sekali tidak membuka mulut, boro-boro mengikuti gerakan.

Tadi pagi di mobil saat diantar papanya, owen memang nyanyi lagi itu, dan papanya pesan, nanti owen nyanyi di wihara ya. Ga nyangka ternyata owen memenuhi permintaan papanya.

Dan tadi malam menjelang tidur, saya ajak ngobrol lagi. Ternyata selama di kelas, owen sempat izin ke toilet juga. Seneeeng banget termyata dia sudah nyaman dan berani di kelasnya. Pas pulang, saya juga mengamati owen duduk tenang menunggu nama dia dipanggil untuk menerima buku absen, dan juga mengantri dengan sabar menunggu dibagikan bingkisan. This milestone, means a lot to us.

We are so proud of you baby

Rabu, 02 September 2015

Another dream, another path

Saya memendam keinginan melanjutkan sekolah keluar negeri sejak waktu yang sangat lama. Saya ingat sekelebat cerita waktu saya masih bocah ingusan. Nenek saya berkata ingin pergi keluar negeri, lalu saya bilang, iya amah nanti pergi sama saya ya. "Lah kamu punya apa memang mau ajak amah keluar negeri". Nanti saya cari beasiswa amah. Pedenya saya waktu itu.

Setahun..dua tahun..hingga sekarang 10 tahun setelah lulus kuliah S1, saya masi belum juga mewujudkan sesumbar saya waktu itu. Amah saya pun sudah meninggal lebih dari 10 tahun lalu.

Hingga tiba pada suatu siang random di bulan maret 2015, saya seperti biasa makan siang bersama asisten sekaligus sahabat baik saya di kantor. Sudah selama beberapa waktu obrolan makan siang kami berkisar antara passion dan kegalauan akan hidup kami yang terasa basi dan stagnan. Suami anggit, jagat sedang studi s2 di US dengan beasiswa fullbright. Kami bicara ttg keinginan kami keluar negeri membawa keluarga, bicara ttg pendidikan untuk anak, ttg kemungkinan berganti pekerjaan atau profesi, ttg bagaimana membuat hidup kami lebih berarti. Ohya, saya saat ini adalah ibu beranak 2, anggit sendiri memiliki 1 orang anak.

Di siang yang random itu, aku tercetus ingin kuliah lagi, tapi rasanya terhambat oleh banyak hal. Biaya, anak2, suami. Terbayang kalau kuliah di luar negeri, apakah bisa membawa anak2, bagaimana dengan suami, apakah rela meninggalkan karir dan menjaga anak selama kita kuliah? Karena situasi yang tampak hampir tidak mungkin ini, lalu saat itu aku terpikir untuk s3 di dalam negeri saja dengan melamar beasiswa LPDP. Yang kupikirkan saat itu hanyalah ingin keluar kerja, bisa lebih banyak waktu dengan anak2, namun masi ada penghasilan.

Dengan ide itu di kepala, saya pun menghadap suami. Tanggapan dari suami sungguh di luar dugaan. "Jika mau kuliah, kenapa harus di dalam negeri? Sudah, keluar negeri saja sekalian. "

Obrolan makan siang dengan anggit pun tetiba menjadi makin seru. :)

Dan saya pun mulai berburu. Googling tiap hari, namun tujuan saya hanya satu..new zealand. Tidak tahu sejak kapan, negara yang saya incar hanya satu. Ada beberapa pertimbangan sebenarnya:

1. Pendidikan anak yang baik

2. Kesempatan kerja untuk suami

3. Kemudahan membawa keluarga

4. Kampus dan profesor yang bagus dan sesuai minat.

Saya pun menetapkan pilihan, beasiswa nzidrs dan university of otago.

Dengan dukungan penuh dari suami, kami pun mempersiapkan semua persyaratan yang dibutuhkan..mulai dari mendapatkan reference letter dari mantan dosen pembimbing di bandung, hingga daftar tes ielts, mendapatkan credential evaluation report dari lembaga di uk. Ohya bagi yang ingin melamar ke nz, ini adalah syarat yang ga bisa ditawar. Walaupun uni seperti otago meminta report dari lembaga tertentu saja seperti ECE, report dari beberapa lembaga lain diakui juga. Saya kemarin melamar ke UK NARIC, yg setelah saya banding2kan, paling mudah dan juga tidak terlalu mahal. Kalau ECE, kita harus mengirimkan ijazah asli kita ke mereka, langsung panik sendiri, takut hilang. Kemudian, juga melengkapi legalisir2 dokumen, untuk yang ini, suami benar2 membantu banget. Thanks hun.

Hingga semua syarat lengkap, waktu itu, seminggu dari deadline, saya belum dapat prof yang mau bimbing. Huhu...sudah hampir putus asa. Sebelumnya sudah dpt research fellow yang mau bimbing, namun kemudian dia mundur. Di saat2 terakhir itu, email saya ke pembimbing yang saya incar pertama kali mendapatkan respon positif. Waktu tu kurang lebih 4 hari dari deadline di mana saya harus kirim aplikasi. Ohya, aplikasi nzidrs harus dikirim hardcopy ke wellington.

4 hari dan malam itu benar-benar seperti kerasukan entah apa. Malam pertama setelah menerima balasan dari si prof sekitar jam 4an, saya pun bergadang hingga jam 4 pagi menyusun research outline dan langsung mengirim ke si prof. Bangun pagi jam 6 sudah ada balasan dari si prof yang sangat2 supportif. Hari-hari berikutnya adalah waktu melengkapi aplikasi dan mengirimkan ke wellington sebelum pulang kampung menjelang libur lebaran. 

Selama di kampung, saya mendadak sibuk dan deg2an setiap melihat simbol amplop di hp, menunggu harap2 cemas email dari si prof, yg sedang menyusun provisional supervision form. Kemudian saya pun melamar ke program phd otago dan juga melamar university of otago doctoral scholarship. 

Setelah itu saya hanya menunggu dan menunggu hingga suatu hari di pertengahan agustus, saya mendapat kabat bahwa aplikasi phd saya disetujui dan seminggu kemudian mendapat kabar bahwa aplikasi otago doctoral scholarship saya juga disetujui. Nzidrs yang heboh banget kemarin itu malah belum ada kabar..hahaha.

Long story short, there is nothing impossible in this world. Hal yang setengah tahun lalu rasanya mustahil banget sekarang tiba2 menjadi kenyataan. Prof. Kennedy, professor saya pernah menulis di salah satu emailnya. "This scholarship (yang sedang saya lamar waktu itu), like any others are highly competitive, but until you try you will never know how it will go."

Walaupun demikian, saya mengimani, ini hanyalah awal dari perjalanan yang lebih berat, namun seperti kata quote entah dari siapa, there is no growth in comfort zone, and there is no comfort in growth zone. Seberapa sulitnya pun perjalanan nanti, saya yakin bahwa ini adalah perjalanan untuk menjadi lebih baik.

Perjalanan kemarin juga meninggalkan kesan yang sangat mendalam buat saya tentang kebaikan hati. Ada banyak sekali orang2 yang membantu saya di sepanjang perjalanan. Saya berterima kasih tak terhingga kepada Jagat Prirayani, suami anggit sahabat saya yang tanpanya semua ini tidaklah mungkin. Jagatlah yang memoles cv saya, yang kemudian menjadi andalan dalam menggaet prof, :). Juga kepada anggit yang selalu memberi semangat, kepada dosen2 yang teIah berbaik hati memberikan surat rekomendasi dan menyemangati. Kepada calon professor saya, prof martin kennedy yang telah begitu berbaik hati mendukung saya, I can't thank him enough for his continuous support, to me, a perfect stranger to him.

Dan terakhir, andil yang paling besar adalah suami saya yang senantiasa menyakinkan bahwa kami bisa. Yang ikut berjibaku ke sana kemari kemarin saat melengkapi dokumen. What I am without you.