Rabu, 02 September 2015

Another dream, another path

Saya memendam keinginan melanjutkan sekolah keluar negeri sejak waktu yang sangat lama. Saya ingat sekelebat cerita waktu saya masih bocah ingusan. Nenek saya berkata ingin pergi keluar negeri, lalu saya bilang, iya amah nanti pergi sama saya ya. "Lah kamu punya apa memang mau ajak amah keluar negeri". Nanti saya cari beasiswa amah. Pedenya saya waktu itu.

Setahun..dua tahun..hingga sekarang 10 tahun setelah lulus kuliah S1, saya masi belum juga mewujudkan sesumbar saya waktu itu. Amah saya pun sudah meninggal lebih dari 10 tahun lalu.

Hingga tiba pada suatu siang random di bulan maret 2015, saya seperti biasa makan siang bersama asisten sekaligus sahabat baik saya di kantor. Sudah selama beberapa waktu obrolan makan siang kami berkisar antara passion dan kegalauan akan hidup kami yang terasa basi dan stagnan. Suami anggit, jagat sedang studi s2 di US dengan beasiswa fullbright. Kami bicara ttg keinginan kami keluar negeri membawa keluarga, bicara ttg pendidikan untuk anak, ttg kemungkinan berganti pekerjaan atau profesi, ttg bagaimana membuat hidup kami lebih berarti. Ohya, saya saat ini adalah ibu beranak 2, anggit sendiri memiliki 1 orang anak.

Di siang yang random itu, aku tercetus ingin kuliah lagi, tapi rasanya terhambat oleh banyak hal. Biaya, anak2, suami. Terbayang kalau kuliah di luar negeri, apakah bisa membawa anak2, bagaimana dengan suami, apakah rela meninggalkan karir dan menjaga anak selama kita kuliah? Karena situasi yang tampak hampir tidak mungkin ini, lalu saat itu aku terpikir untuk s3 di dalam negeri saja dengan melamar beasiswa LPDP. Yang kupikirkan saat itu hanyalah ingin keluar kerja, bisa lebih banyak waktu dengan anak2, namun masi ada penghasilan.

Dengan ide itu di kepala, saya pun menghadap suami. Tanggapan dari suami sungguh di luar dugaan. "Jika mau kuliah, kenapa harus di dalam negeri? Sudah, keluar negeri saja sekalian. "

Obrolan makan siang dengan anggit pun tetiba menjadi makin seru. :)

Dan saya pun mulai berburu. Googling tiap hari, namun tujuan saya hanya satu..new zealand. Tidak tahu sejak kapan, negara yang saya incar hanya satu. Ada beberapa pertimbangan sebenarnya:

1. Pendidikan anak yang baik

2. Kesempatan kerja untuk suami

3. Kemudahan membawa keluarga

4. Kampus dan profesor yang bagus dan sesuai minat.

Saya pun menetapkan pilihan, beasiswa nzidrs dan university of otago.

Dengan dukungan penuh dari suami, kami pun mempersiapkan semua persyaratan yang dibutuhkan..mulai dari mendapatkan reference letter dari mantan dosen pembimbing di bandung, hingga daftar tes ielts, mendapatkan credential evaluation report dari lembaga di uk. Ohya bagi yang ingin melamar ke nz, ini adalah syarat yang ga bisa ditawar. Walaupun uni seperti otago meminta report dari lembaga tertentu saja seperti ECE, report dari beberapa lembaga lain diakui juga. Saya kemarin melamar ke UK NARIC, yg setelah saya banding2kan, paling mudah dan juga tidak terlalu mahal. Kalau ECE, kita harus mengirimkan ijazah asli kita ke mereka, langsung panik sendiri, takut hilang. Kemudian, juga melengkapi legalisir2 dokumen, untuk yang ini, suami benar2 membantu banget. Thanks hun.

Hingga semua syarat lengkap, waktu itu, seminggu dari deadline, saya belum dapat prof yang mau bimbing. Huhu...sudah hampir putus asa. Sebelumnya sudah dpt research fellow yang mau bimbing, namun kemudian dia mundur. Di saat2 terakhir itu, email saya ke pembimbing yang saya incar pertama kali mendapatkan respon positif. Waktu tu kurang lebih 4 hari dari deadline di mana saya harus kirim aplikasi. Ohya, aplikasi nzidrs harus dikirim hardcopy ke wellington.

4 hari dan malam itu benar-benar seperti kerasukan entah apa. Malam pertama setelah menerima balasan dari si prof sekitar jam 4an, saya pun bergadang hingga jam 4 pagi menyusun research outline dan langsung mengirim ke si prof. Bangun pagi jam 6 sudah ada balasan dari si prof yang sangat2 supportif. Hari-hari berikutnya adalah waktu melengkapi aplikasi dan mengirimkan ke wellington sebelum pulang kampung menjelang libur lebaran. 

Selama di kampung, saya mendadak sibuk dan deg2an setiap melihat simbol amplop di hp, menunggu harap2 cemas email dari si prof, yg sedang menyusun provisional supervision form. Kemudian saya pun melamar ke program phd otago dan juga melamar university of otago doctoral scholarship. 

Setelah itu saya hanya menunggu dan menunggu hingga suatu hari di pertengahan agustus, saya mendapat kabat bahwa aplikasi phd saya disetujui dan seminggu kemudian mendapat kabar bahwa aplikasi otago doctoral scholarship saya juga disetujui. Nzidrs yang heboh banget kemarin itu malah belum ada kabar..hahaha.

Long story short, there is nothing impossible in this world. Hal yang setengah tahun lalu rasanya mustahil banget sekarang tiba2 menjadi kenyataan. Prof. Kennedy, professor saya pernah menulis di salah satu emailnya. "This scholarship (yang sedang saya lamar waktu itu), like any others are highly competitive, but until you try you will never know how it will go."

Walaupun demikian, saya mengimani, ini hanyalah awal dari perjalanan yang lebih berat, namun seperti kata quote entah dari siapa, there is no growth in comfort zone, and there is no comfort in growth zone. Seberapa sulitnya pun perjalanan nanti, saya yakin bahwa ini adalah perjalanan untuk menjadi lebih baik.

Perjalanan kemarin juga meninggalkan kesan yang sangat mendalam buat saya tentang kebaikan hati. Ada banyak sekali orang2 yang membantu saya di sepanjang perjalanan. Saya berterima kasih tak terhingga kepada Jagat Prirayani, suami anggit sahabat saya yang tanpanya semua ini tidaklah mungkin. Jagatlah yang memoles cv saya, yang kemudian menjadi andalan dalam menggaet prof, :). Juga kepada anggit yang selalu memberi semangat, kepada dosen2 yang teIah berbaik hati memberikan surat rekomendasi dan menyemangati. Kepada calon professor saya, prof martin kennedy yang telah begitu berbaik hati mendukung saya, I can't thank him enough for his continuous support, to me, a perfect stranger to him.

Dan terakhir, andil yang paling besar adalah suami saya yang senantiasa menyakinkan bahwa kami bisa. Yang ikut berjibaku ke sana kemari kemarin saat melengkapi dokumen. What I am without you.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar