Jumat, 08 Agustus 2014

Missing

Hari ini, jam 12 tengah malam, tiba2 kedatangan roh penulis...hahaha...roh bantal uda minta2 tidur sebenarnya, tapi karena sudah lama sekali tidak menulis,akhirnya membulatkan tekad. Tadi sore adalah hari yang istimewa. Kami memperingati 1 tahun kematian papa mertua. Dan beruntung sekali, salah satu kakak dharma kami, seorang monastik sejak beberapa tahun lalu, bersedia memenuhi undangan kami untuk memimpin doa di rumah. Terakhir ketemu Bhante Nyanabhadra ini kalau tidak salah bulan mei lalu, saat children blessing di ekayana. Beberapa tahun tidak bertemu beliau, beliau banyak berubah, ke arah yang lebih baik tentunya. Bhante sekarang tampak semakin tenang dan memberi kedamaian saat bersamanya, auranya sangat berbeda.

Tadi sore, sempat ngobrol2 sedikit dengan Bhante, dan sukses membuatku sangat merindukan vihara, merindukan retret, merindukan latihan. Setelah berbulan-bulan, malam ini bermeditasi untuk pertama kalinya.

Setelah diingat-ingat lagi, terakhir ikut retret adalah tahun 2010, persis sebelum hamil owen, ajegile, udah lama banget. Setelah itu, aku tenggelam dalam hidup rumah tangga, benar2 tenggelam, tersesat, jatuh! Hampir ga pernah ke wihara, ga pernah meditasi, ga pernah bicarain dharma, hidupku terseret, detik-detik berharga hidupku terbuang sia-sia.

Bulan lalu, saat sempat pulang bareng dengan salah satu teman, aku sebenarnya udah mendapatkan kerinduan ini kembali. Bahkan selama ini pun aku sudah merasa, ada yang kurang dalam hidupku, aku kehilangan arah.

Hari ini, seperti mendapatkan siraman air segar, hembusan angin yang menyentak membangunkan, bahagia sekali rasanya, hanya dengan duduk mengobrol dengan bhante. Ketenangan yang tak dibuat-buat, pancaran cintakasih yang terasa nyata, aku terdorong untuk ingin bersujud mengungkapkan terima kasih. Tapi itu pun rasanya belum cukup.

Terimakasih tak terhingga bhante, semoga jalan bhante senantiasa bertemu dharma, semoga bhante merealisasikan pencerahan suatu hari nanti. Doakan kami juga bhante, semoga jalan kita dapat beriringan, semoga kami juga senantiasa bertemu dharma, semoga kami juga dapat merealisasikan pencerahan suatu hari nanti.

Last, a poem from his facebook page, explaining best what i am feeling rightnow

The day is now ended
Our lives are shorter
Let us look carefully
What have we done?

Dear friends, with all our heart,
Let us be diligent,
Engaging in the practice.
Let us live deeply,
Free from our afflictions,
Aware of impermanence.
So that life does not
Drift away without meaning

Selasa, 15 April 2014

What a girl needs (my opinion)

Pulang kerja kemarin, akhirnya mencoba es kelapa alpukat untuk pertama kalinya, dan ternyata...enak banget lo. Selama ini menyangka pasti rasanya aneh, kelapa dicampur dengan alpukat, tapi ternyata nyam nyam. Padahal kemarin beli itu hanya karena es kelapa nangka-nya sedang kosong.

Eniwei, topik post kali ini tentu saja bukan tentang es kelapa alpukat. Di commuterline dalam perjalanan pulang kemarin, aku ber-WA dengan salah satu teman karibku di kantor, dan entah bagaimana, obrolan bergulir sampai rencana masa depan kami (halah). Mba, teman kantorku itu bercerita kalau dia sedang menabung dan ingin berhenti kerja dan mulai merintis usaha nanti jika tabungannya sudah cukup.

Dalam beberapa minggu ini, banyak sekali cerita serupa kudengar dari teman-teman kantor, terutama ibu-ibu yang telah memiliki anak, termasuk juga diriku sendiri. Aku juga berulang kali berpikir, hal lain apa yang bisa kulakukan agar tidak usaha ngantor 9-5, agar bisa lebih banyak waktu dengan anak-anak, tapi juga tidak kehilangan penghasilan. Aku masih ingin bisa membiayai kuliah anak-anak nantinya...

dan dari obrolan dengan beberapa teman, kami sempat sampai pada kesimpulan bahwa anak perempuan sebaiknya dibekali dari awal dengan berbagai skill, seperti menari, memasak, membuat kue, menjahit, piano, balet, atau apapun itu, di luar pendidikan formal, agar ketika mereka sampai pada fase yang kami lalui sekarang ini, ada banyak pilihan yang bisa dilakukan selain ngantor resmi, haha..

Zaman aku sendiri kecil, tentu saja tidak pernah terpikir hal-hal ini, dan orang tuaku juga pasti tidak. wong dulu hidup susah, bisa sekolah sampai lulus kuliah saja, sudah bersyukur luar biasa, hal yang kalau dipikir-pikir sekarang, hampir menyerupai mujizat. Aku pun bersyukur banget orang tuaku dulu selalu berprinsip bahwa pendidikan adalah yang utama, mau sesusah apapun, anak-anak diusahakan kuliah, dan dileskan bahasa inggris dari kecil. Untuk les-les yang lain, selain tidak terpikir, memang juga tidak terjangkau.

jadi sampai udah tua kayak gini, sekarang kepikiran lagi, ingin ikut kursus lagi, apa saja, yang kira-kira sesuai dengan bakat dan minat, jadi bisa memulai usaha lain selain kerja kantoran. kemarin-kemarin kepikiran pengen kursus webmaster, tapi kata misua, bisa belajar sendiri saja kalau itu. teman-temanku ada yang mau kursus jahit, tapi aku ga yakin juga bakal punya ketelatenan bikin baju. yah, masih dalam tahap menggalau, tapi moga-moga dalam waktu dekat bisa menentukan pilihan, haha..kayak mau nikah aja.

pilihan lain tentu bisa ikut MLM, atau jadi agen asuransi, namun hingga saat ini, rasanya kok belum ada panggilan hati. Entah kalau besok-besok.

Sabtu, 12 April 2014

Australia

Mumpung masih segar dalam ingatan...pengen nulis sesuatu tentang travelling kali ini. Being in australia for the first time is absolutely exciting, but cannot compare the awful feeling of leaving the kids at home. Dani terus mencoba tidak terlalu kepikiran, karna katanya nanti mereka ikut kepikiran juga (entah bener ga teori ini....#$@£*). Anyway..memikirkan rumah hanya bikin makin awful karna tidak ada yang bisa dilakukan. 

First impression about australia:
Mereka punya kamar mandi khusus untuk ibu membawa bayi. Jadi di kamar mandinya ada tempat buat naruh bayinya..so cool. Mereka mendukung ibu mandiri. Dan ini ga cuma di airport, tapi juga di convention centre...kamar mandi ini jadi sarang buat aku meres asi...

Orang2nya? Biasa aja si..ada yang ramah,ada juga yang tampk dingin. 

Lingkungan? Jelas bersih...bersih banget malah. Perbandingan land dengan manusianya juga tampaknya gede banget. Jalan2 cenderung lengang. Terasa lapang dan tenang. Dan langitnya tampak bersih...bintang2 bertaburan..aku jatuh cinta dengan langitnya...

Tidak konsumtif. Sulit sekali menemukan tempat belanja (atau entah kalau kami yang dodol dan tidak menemukannya waktu di Melbourne). Tapi dari kemarin yang terlihat adalah museum, gedung pertjnjukan, iklan pertunjukan macbeth, swan lake. Sungguh masyarakat yang kultural.

Gaya hidup sehat. Di semua gerai penjual makanan, selain gambar makanan, dan harga,selalu tertera jumlah kalorinya dalam kj. 

Dan cukup jarang menemukan orang obese di sini. 

Salah satu yang berkesan juga adalah saat salah turun bus dalam perjalanan ke Koala Sanctuary di Lone Pine, Brisbane. me and my colleague stucked in the middle of nowhere...with astonishing view. Tampaknya seperti daerah pegunungan di puncak begitu, namun jauh lebih sepi dan tampak damai. Di kiri kanan, terdapat rumah-rumah dengan halaman luas dan mungkin hutan di baliknya..#ingin deh punya satu di situ, must be a nice place to stay. ongkos naik bus dari pusat kota brisbane juga hanya 7 AUD, cukup murah, karena ongkos naik bus di dalam kota, yang hanya selang 2 bus stop, biayanya 5 AUD something. 

Tapi kesan baik tentang Aussie sedikit tercoreng juga di hari-hari terakhir. Misalnya saat sarapan di cafe depan apartment, kasirnya lupa (atau pura-pura lupa) memberikan uang kembalian. Dan saat sudah setengah jalan ke convention centre dan kembali untuk memintanya, doi sepertinya sama sekali tidak ingat (atau pura-pura tidak ingat). Lalu sempat juga memberikan kembalian yang kurang. Dan di hari terakhir, pagi-pagi saat menunggu taksi ke bandara, dua orang lelaki melintas depan apartment, jelas abis mabuk-mabukan semalaman, jalannya masih tidak lurus, dan tercium bau alkohol. 
But you cannot expect something like perfect country or city I think.

overall, I understand why a lot of the rich from Indonesia move or have house in Australia. Walaupun dalam perjalanan ini kemarin, ada juga orang yang tidak betah karena terlalu sepi katanya. Jadi orang ini tinggal sendiri di jakarta, sementara anak istrinya tinggal di Melbourne. yah..everyone has their own choice.

Norwegian Wood



Norwegian Wood adalah salah satu novel tua yang memberikan kesan memdalam kepadaku, bukan termasuk salah satu novel-novel yang bisa kubaca ulang lagi, tanpa aku ingat sama sekali ceritanya. 

Dan tak tahu mengapa, tapi hatiku pilu setelah membaca Norwegian wood, novel yang indah tapi juga sekaligus menyedihkan. Membaca tentang Hatsumi-san membuatku sangat sedih. Mengapa dia bisa mencintai orang seperti itu, mengapa dia memilih hidup seperti itu. Dan Nagasawa-san, mengapa dia juga memilih hidup seperti itu. Dan dua orang yang memilih jalan hidup yang begitu berbeda, mengapa pernah mencoba berjalan bersama?
Sedih sekali rasanya. Hatsumi-san yang begitu baik, cantik, tidak mengharapkan apa-apa kecuali Nagasawa-san, tidak punya impian-impian jauh dalam hidupnya, hanya ingin menjalani hidup, jatuh cinta, mencintai, punya anak, dan hidup normal. Dan Nagasawa-san yang menginginkan begitu banyak hal, yang terus menempa diri, yang begitu egois, yang tidak pernah berpikir untuk mencintai siapapun, yang tidak pernah membutuhkan siapapun, mengapa Hatsumi-san harus jatuh cinta kepadanya? jatuh cinta kepada manusia yang tidak merasa membutuhkan siapapun dalam hidup. Alangkah melelahkan.

Dan itu semua membuatku teringat pada diriku sendiri, tentang kehidupan yang kujalani. Siapakah aku?
Apa yang aku cari?
Aku tidak tahu.
Tapi aku sungguh merasa bersyukur atas apa yang kumiliki. "Dia" yang selalu ada buat aku, 'dia' yang sama sekali tidak sama dengan Nagasawa-san, 'dia' yang masih ada sampai hari ini buatku. terimakasihku yang terdalam untukmu. Tidur nyenyak malam ini...^^

Jumat, 21 Februari 2014

Apakah aku bahagia?

Sepanjang ini, dari sejak menjelang siang, hingga perjalanan pulang dari kantor tadi, aku banyak berkontemplasi...cieee..haha..maksudnya melamun denk, tentang salah satu pertanyaan paling penting dalam hidup ini, apakah aku baha.gia saat ini. 

And sadly, aku sampai pada kesimpulan bahwa aku rasanya tidak terlalu bahagia. 

Lalu aku mulai menganalisis mengapa aku bisa sampai pada kondisi ini? Dengan kondisi keduniawianku saat ini, aku harusnya mudah berbahagia. Aku berhasil mendapatkan pendidikan yang baik, meskipun latar belakang keluarga yang sederhana, aku memiliki karier yang baik, bahkan termasuk beruntung jika membandingkan dengan teman-temanku, dengan kompensasi yang cukup baik. Secara finansial, aku tidak kesulitan walaupun tentu bukan konglomerat. Di atas semua itu, aku memiliki keluarga yang baik. Aku memiliki suami yang luar biasa,sepasang anak-anak yang lucu, cerdas,dan sehat, rumah yang mapan. Apa lagi yang kurang coba?

Namun setelah menganalisa, aku menemukan bahwa ada beberapa faktor yang membuatku merasa tidak cukup. 

1. Aku belum menyelesaikan mimpiku. I have not fulfill my circle. 
Aku pernah membaca blog yang menganalisis, bahwa untuk menjadi seorang pemimpin negara yang baik, orang itu harus merasa sudah cukup dengan dirinya, sudah meraih semua mimpinya, dan aku rasanya belum mencapai tahap itu. 

Waktu remaja, aku tergila-gila pada antariksa dan astronomi. Memandang langit malam adalah sumber kedamaianku. Namun ketika memilih major saat kuliah, aku memiliih realitas dan tidak berani mengejar mimpi. Sammpai saat ini, aku tidak tahu apakah keputusanku itu benar. Walaupun aku tidak menyesali kompetensiku saat ini, aku masih sering bertanya-tanya, bagaimana jadinya jika waktu itu aku berani memilih jalanku sendiri. 

Impianku yang lain yang juga belum terwujud adalah kuliah atau stay di luar negeri. Aku dulu di bandung selama 5 tahun,namun sekarang di jakarta, aku sudah tinggal melebihi 8 tahun, bertahan di perusahaan yang sama pula, haha. Aku rindu perubahan, aku membayangkan petualangan, di tempat baru, bertemu orang-orang baru. Di atas semua itu,aku ingin membuktikan diriku bahwa aku pantas mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Namun sejak dulu, aku tidak berani mengambil langkah. Aku memikirkan keluargaku, dan sekarang lebih-lebih aku memikirkan anak-anakku. Namun mungkin itu semua hanya kedok saja, toh banyak juga mereka yang telah berkeluarga dan ber-anak memilih untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri. entahlah..sejauh ini, aku hanya merasa pengorbanan yang mungkin harus terjadi seperti kehilangan suatu periode dari masa kanak-kanak mereka tidak sepadan dengan impian ini. 

Anyhow, aku rasa faktor ini menyumbang salah satu sisi dari ketidakbahagiaanku, walaupun tidak besar. Sebenarnya ketidakbahagiaan mungkin kata yang pas. aku hanya merasa belum fulfilled.

2. Aku memiliki terlalu banyak kecemasan dan kekuatiran.
Terlebih-lebih sejak memiliki anak, aku rasanya jadi paranoid. Aku cemas akan kesehatan mereka, cemas akan akhlak mereka, cemas akan pola tidur, pola makan, karakter, dan banyak lagi yang lain. Aku sendiri pun merasa, this is too much already. Masa aku lebih hapal periode-periode mereka sakit, daripada periode-periode mereka membuat milestone yang bearti. benar-benar sudah tidak sehat. Namun sampai saat ini pun, aku belum punya cara untuk mengatasi perasaan ini.

di luar itu, banyak kecemasan dan kegamangan kecil yang lain yang hinggap silih berganti dalam pikiranku, bagaimana jika aku mati, bagaimana jika hubby ku mati, begitu banyak penyakit di dunia ini, dan lain-lain, dan lain-lain.

Belum lagi kekuatiran-kekuatiran kecil tentang pandangan orang, tentang moralku yang tidak cukup baik.

3. Aku tidak yakin akan tujuan hidupku.
Benar lo, kadang-kadang aku sampai pada kegamangan tingkat kronis, aku ngapain si hidup, mau cari apa sih. 
hhhh....moga-moga aku bisa segera menata hatiku dan menemukan makna hidup

4. Aku kurang percaya diri dan terlalu dependent.
Terutama setelah berpacaran dan menikah, pelan-pelan aku menjadi semakin dependent dengan suami. kemana-mana ada yang nganterin. Mau ngapa-ngapain, kalau hubby belum kasih lampu hijau, rasanya kadang-kadang aku tidak percaya diri.

Begitu pula dalam mengurus anak, aku bukan ibu super yang bisa mengelola semuanya dengan baik. Kadang-kadang suka stres sendiri..

Yah rasanya kurang lebih itulah penyebab-penyebab kegalauan hatiku, haha..moga-moga dengan menuliskan ini, aku bisa menemukan diriku yang lebih berbahagia...semangattt....

PS. btw, ada ga ya yang merasa seperti aku ini? Atau apa aku ternyata tidak sehat jiwa??? tidaaaaaaaaaaaaaaakk.....

Sabtu, 04 Januari 2014

Hidup tanpa PRT

Sudah seminggu ini, hidup benar-benar tanpa PRT, baru pertama kalinya sejak punya anak 2 ini. Bahkan PRT yang pulang hari untuk mengerjakan cucian pun mendadak pulang kampung. 

Untung Hubby masih libur, Jadi aku masih bisa kerja.

Tapi hidup tanpa PRT seperti ini aku rasa membuatku lebih hidup, lebih menghargai waktu, lebih giat.

Kemarin-kemarin, saat ada 2 PRT, rasanya waktu tiap hari habis begitu saja, tidak pernah sempat mengerjakan apapun. Sekarang, setelah anak-anak tidur, masih harus membulatkan tekat untuk menyetrika. 

Hubby pun jadi lebih terlibat dalam aktivitas anak-anak dan rumah. 

Untuk jangka pendek, rasanya masih tetap butuh PRT sih, selama anak-anak masih kecil, dan kami berdua masih kerja.

Tapi urusan dengan PRT2 ini yang sering kali bikin emosi jiwa, semakin membulatkan tekadnya untuk secepatnya bebas dari bantuan mereka, untuk hidup lebih mandiri.